JANGAN
TUTUP MATA. ILUSTRASI / FOTO LESBI SISWI SMU BERTEBARAN DI INTERNET.
INI FAKTA BAHWA LESBI BISA LAHIR DI LINGKUNGAN SEKOLAH
SIAPAPUN orang tua tentu tak ada yang menginginkan
anaknya menjadi seorang homo atau lesbi. Penyimpangan orientasi seksual
sepanjang pengamatan saya, bukanlah sesuatu yang permanen. Tak ada laki –
laki yang terlahir homo dan selamanya akan menjadi homo. Pun tak ada
perempuan yang terlahir lesbi dan selamanya akan menjadi lesbi. Kedua
penyimpangan orientasi seksual tersebut bisa muncul karena faktor (baca :
pengaruh) lingkungan. Hasil observasi saya tentang lesbian atau
pasangan lesbi telah saya tuliskan
Pada akhirnya perilaku kita sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan, baik perilaku santun maupun perilaku menyimpang.
Interaksi sosial seseorang diluar rumah terkadang lebih banyak
mempengaruhi perilaku kita dibanding interaksi dalam keluarga.
Pengalaman di sekolah dan pergaulan sosial terkadang lebih bersifat
menekan arah perilaku kita dibanding ingatan kita terhadap nasehat orang
tua di rumah. Perilaku menyimpang akan semakin muncul jika perhatian
atau kontrol orang tua kurang, apatah lagi jika orang tuanya sibuk
dengan pekerjaannya dan menyerahkan sepenuhnya ‘perbaikan’ atau
perubahan anaknya kepada guru di sekolahnya atau pada lembaga
pendidikan.
Lembaga pendidikan sehebat apapun tak akan bisa
memonitor kegiatan anak didiknya selama 24 jam, sekalipun itu di
sekolah asrama (boarding school). Sementara interaksi sosial di lembaga
pendidikan sangat variatif , yang kita temukan kini bukan hanya
interaksi antara guru dan murid, murid dengan murid, kakak kelas dengan
adik kelas, tetapi juga interaksi anak sekolah dengan media Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Internet bukan lagi ‘barang baru’, ia
telah menjadi bagian penting yang mewarnai keseharian anak – anak
sekolah. Anak SMP saja sudah banyak yang mengenal dan bahkan sangat
mahir surfing, browsing, chating, dan googling, apalagi dibilang fesbukan atau ngetweet, malah banyak diantaranya yang memiliki akun ganda.
Kesemua faktor lingkungan yang bersentuhan dengan
keseharian kita bisa menjadi pemicu lahirnya perilaku menyimpang,
termasuk orientasi seksual. Kurangnya perhatian, kepedulian dan kasih
sayang di rumah bisa menjadi pemicunya. Faktor pergaulan di luar
lingkungan rumah juga bisa menjadi penyebabnya, pengaruh tontonan
televisi dan film juga bisa menjadi alasan yang mendasari terjadinya
perilaku lesbi atau homo, begitu pula halnya dengan dampak online
internet. Semuanya bisa berawal dari rumah, namun bisa juga bermula dari
sekolah atau lembaga pendidikan.
Yang ingin saya tekankan disini adalah lahirnya
perilaku penyimpangan dan orientasi seksual lesbian dari lingkungan
pendidikan. Apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga seorang
lesbian bisa lahir dari sekolah. Bagi sekolah putri berasrama, mudah
menganalisanya. Selain karena kesehariannya bersama teman sebayanya yang
berjenis kelamin sama, belajar dan bermain bersama, saling curhat akan
perasaan masing – masing dan berbagi suka duka, juga karena interaksi
dengan orang tua dan saudara sangat kurang dan kalaupun ada kesempatan,
jarang sekali orang tua atau saudara laki – lakinya mampu menjadi
penyeimbang kondisi psikologis dan emosionalnya, menjadi tempat ia
menumpahkan segala beban pikiran dan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa
sekolah putri berasrama itu jelek, hanya yang ingin saya katakan bahwa
potensi lahirnya perilaku lesbi (saling menyukai sesama perempuan) lebih
mudah muncul pada sekolah asrama dibanding mereka yang menikmati
pendidikan di sekolah umum.
Bagi guru dan pembina di lingkungan sekolah, sangat
penting tentunya bagaimana mengenali dan mengawasi anak didik kita
setiap waktu dengan harapan mereka menjadi anak baik, jujur dan cerdas.
Jika kita berada di lingkungan sekolah, sangat penting pula bagi kita
memahami dengan baik sikap, karakter dan perilaku anak didik dengan
harapan kita lebih mudah mengarahkannya kepada kebaikan. Meski lesbi
bukan gejala umum dan hanya nol sekian persen lahirnya pada suatu
lingkungan sekolah, perlu bagi kita mengenali ciri – ciri atau gejala
lesbi itu mengingat sangat luar biasanya pengaruh lingkungan dalam
pergaulan anak sekolah saat ini.
Berdasar dari hasil observasi saya menemukan
wanita lesbi di lingkungan sekolah, maka inilah beberapa ciri yang
mungkin bisa dikenali dari pasangan lesbi itu, yaitu Kenali dengan baik
murid wanita yang sering jalan bersama, berduaan, dan perhatikan pula
cara berkomunikasi sesamanya. Berdua dan sering bersama tak selamanya
bisa diartikan bersahabat, tapi bisa jadi mereka “pacaran”. Bagi
pasangan lesbi, keduanya tak mungkin sama – sama feminim. Selalu ada
seorang diantaranya (biasanya yang lebih tua) yang agak maskulin.
Perempuan yang “maskulin” (kelaki-lakian atau tomboy) bisa menjadi
pemicu dambaan hati bagi wanita yang feminim. Ini berlaku juga bagi
yang homoseksual, keduanya tidak mungkin sama – sama maskulin. Pasti
salah satu diantaranya adalah laki – laki yang feminism (alay, lebay
atau keperempuanan).
Ciri lainnya, pasangan lesbi seperti umumnya orang
yang pacaran, sukar untuk tenang kalau tidak mengetahui keberadaan
‘pacar wanitanya’, karena itu ia akan selalu menelepon dan menanyakan
kabarnya. Ia akan selalu mengharapkan pasangan agar selalu di dekatnya,
termasuk saat akan tidur. Ia akan gelisah jika seharian tidak curhat
atau berbagi perasaan pada pacar wanitanya tersebut. Ini biasanya
dilakukan wanita yang feminim (sang adik kelas) terhadap wanita yang
maskulin (sang kakak kelas). Keduanya terikat secara emosional antara
dilindungi dan melindungi, dengan begitu mereka merasa nyaman bersama.
Pasangan anak sekolah yang mengalami gangguan
orientasi seksual seperti itu cenderung menutup diri dan menjaga jarak
dengan teman sekolahnya yang lain. Karena itu tidak susah susah amat
mengenalinya. Bagi guru dan Pembina sekolah sangat penting untuk
mengenali hal seperti ini, paling tidak peran guru diharapkan dapat
mengembalikan kondisi psikologis dan emosionalitas anak didiknya
terhadap ketertarikan sesama jenis. Kondisi lesbi atau homo bukanlah
sesuatu yang permanen, ia bisa disadarkan dan dikembalikan ke kondisi
normal apalagi jika belum lama terjadinya. Seseorang menjadi lesbi hanya
karena dorongan perasaan dan hasrat libido yang tidak terkontrol,
kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya
terutama dari lain jenis serta faktor lingkungan lainnya seperti
keseringan nonton film lesbi, dan ditemukannya temannya, “perempuan
maskulin” yang lebih bisa melindungi dan menyayanginya.
Mari buka mata, ini bukan lagi sesuatu yang tabu
untuk dibicarakan, malah harus ditabuhkan agar kita semua bisa
mengatasinya. Lesbi atau pasangan lesbi bisa hadir dan muncul dalam
lingkungan sekolah. Kaum guru dan pembina sekolah harus arif
menanganinya, paling tidak memberikan solusi agar anak didik tersebut
kembali normal. Demikian yang dapat saya bagi, salam edukasi. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar