Minggu, 26 Agustus 2012

bahaya demokrasi

Disadari atau tidak, demokratisasi merupakan bahaya tersendiri bagi umat Islam. Pertama, bahaya yang paling besar bagi umat Islam, demokrasi nampak menjadi berhala baru yang merusak aqidah, hukum syara’, dan akhlaq kaum muslimin. Secara aqidah, dengan demokrasi, umat Islam dikikis aqidahnya. Tokoh-tokoh demokrasi selalu menyerang agar umat Islam jangan merasa benar sendiri, Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar. Jelas ini bisa meragukan keyakinan umat kepada Islam sebagai agama satu-satunya yang diridloi oleh Allah SWT(lihat QS. Ali Imran 19) dan rugilah orang yang mencari agama selain Islam (lihat QS. Ali Imran 85). Nampak bau taklid tokoh demokrasi kepada orang-orang kafir padahal Allah SWT sudah mewanti-wanti mereka.
    Demokrasi berasal dari pandangan bahwa manusialah yang berhak membuat peraturan (undang-undang). Sehingga –menurut mereka– rakyat adalah sumber kedaulatan, sekaligus pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Rakyat yang membuat perundang-undangan. Rakyat yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Rakyat pula yang berhak mencabut kekuasaan dari kepala negara, lalu menggantinya, termasuk merubah undang-undang sekehendak mereka.
Jadi, Demokrasi itu berlandaskan kepada dua ide; (1). Kedaulatan di tangan rakyat, (2). Rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dalam hal ini rakyat bertindak selaku Musyarri’ (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan berlaku sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Ide Demokrasi, merupakan anak emas dari ide Sekularisme (pemisahan agama dari negara/politik). Sebab, Sekularisme telah memberikan wahana bagi rakyat untuk menentukan arah kehidupan mereka sendiri.   Inilah makna dari rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan.  Artinya rakyat sebagai Musyarri’ ( pembuat hukum melalui perwakilannya di parlemen ).
Pemahaman semacam ini nyata-nyata bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sebab, Islam telah meletakkan kedaulatan berada di tangan syara (atau di tangan Allah, sebagai Musyarri’), bukan di tangan manusia.
Firman Allah SWT :  “(Hak untuk) menetapkan hukum itu (hanyalah) hak Allah.” (QS. Al An’aam [6]: 57)
Bahkan al Quran tegas-tegas menggolongkan tidak beriman bagi siapa saja yang tidak menjadikan Rasulullah saw sebagai rujukan hukum.
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisa [4]: 65)
Oleh karena itu, ide Demokrasi yang telah meletakkan kedaulatan berada di tangan manusia (dalam hal ini rakyat), dan kekuasaan (untuk menjalankan sistem hukum selain Islam) berada di tangan rakyat, adalah ide yang bathil, bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dan Islam tidak mengenal Demokrasi, sejak kelahirannya hingga hari Kiamat.
Islam dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan Allah, tidak di tangan rakyat maupun penguasa. Allah lah yang berhak menentukan hukum, sistem, dan aturan bagi mereka. Mereka tinggal melaksanakannya.
Allah Swt. berfirman:                                                                        Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (TQS Yusuf [12]: 40).
Kita semua adalah orang-orang yang beriman dengan sepenuhnya kepada Allah dan tidak akan menyekutukan-Nya. Jadi, tidak layak jika terjadi penuhanan terhadap rakyat dengan cara memberikan otoritas kepada mereka untuk membuat hukum.
Dengan demikian, demokrasi sangat bertentangan  dengan Islam. Memang, banyak kalangan yang menyamakan demokrasi dengan konsep syura (musyawarah) dalam Islam. Padahal sesungguhnya syura sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan demokrasi.
Islam tidak mengenal sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi asas bagi masyarakat Barat kapitalis yang berjiwa demokratis, liberalis, dan menjunjung HAM (yang mereka tafsirkan sendiri sesuai dengan kepentingannya). Oleh karena itu, sistem hukum Islam merupakan satu kesatuan.
Dari segi hukum syara, demokrasi menolak hukum Islam dengan dalih negara ini bukan negara Islam dan bukan milik orang Islam. Negara plural. Padahal syari’at Islam, bukanlah syari’at buatan orang Islam dan khusus untuk orang Islam. Dia buatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan manusia dan menurunkan syari’atnya dan mengutus rasul-Nya sebagai rahmat-Nya atas seluruh alam.
Umumnya tokoh muslim demokrat yang berpecah belah itu, selalu mengajak agar semua kembali kepada konstitusi dan melaksanakan perbedaan pendapat dengan koridor demokrasi, padahal Allah SWT menuntun mereka agar dalam menyelesaikan konflik kembali kepada Allah dan Rasul-Nya (Al Quran dan Sunnah) jika mereka masih beriman (lihat QS. An Nisa 59).
Kerusakan moral atau akhlaq akibat meninggalkan syari’at Allah –lantaran tidak sopannya manusia kepada Tuhan mereka– kiranya tidak perlu diuraikan lagi.
Karena itu, kelompok manapun dari kaum Muslim, yang mempropagandakan ideologi dan ajaran selain islam, –seperti Demokrasi, Sekularisme, Pluralisme, Emansipasi, Kapitalisme, Sosialisme, Globalisasi– yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan nyata-nyata ajaran tersebut berasal dari bangsa-bangsa kafir, haram hukumnya !
Demokrasi tidak sama dengan syura, karena syura berarti memberikan pendapat dalam koridor hukum islam. Sedangkan demokrasi merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Kaum muslimin wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya, karena demokrasi juga berarti bertahkim kepada thaghut. Bertahkim kepada thaghut berarti juga bertahkim kepada hukum-hukum yang tidak diturunkan Allah SWT. Dengan kata lain bertahkim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia, dan bertentangan dengan sistem hukum Islam.
Allah SWT berfirman:    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa [4]: 60)
Sungguh amat nista, seorang muslim yang tega menyerukan seruan jahiliyah (berupa fanatisme golongan, kelompok, madzhab, tokoh), maupun menyerukan jargon-jargon kufur (seperti Demokrasi, Pluralisme, Sekularisme, Sosialisme, Kapitalisme), terlebih lagi satu dengan yang lain saling menyerang dan membunuh, demi ashabiyah (fanatisme golongan) nya maupun membela seruan-seruan kufur.
Maka, apakah kita tetap tidak mengindahkan peringatan-peringatan ini?!
Sudah nyata demokratisasi memberikan implikasi sangat buruk kepada kaum muslimin, baik ekonomi, politik, sosial, keamanan, bahkan keyakinan. Orientasi politik ekonomi keduniaan semata yang diajarkan oleh ideologi demokrasi telah mengesampingkan orientasi dunia akhirat sehingga yang terjadi kerusakan semata.
Jika sudah demikian, masihkah kita berharap kepada demokrasi buatan manusia dan melupakan sistem peraturan Ilahi? Mari kita renungkan peringatan Allah SWT.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaha 124).
Jelaslah betapa mahal harga proses demokratisasi yang dialam bangsa muslim terbesar di dunia ini. Kapankah mereka bertaubat dan membuang sampah demokrasi?
Wahai kaum Muslim,
Inikah yang kita kehendaki: tetap mengusung demokrasi dengan ciri-ciri busuk kebebasan di dalamnya? Tidakkah kita sadar, bahwa kebebasan untuk mengekspresikan kemaksiatan yang dipropagandakan sebagian kaum muslim adalah bukti nyata bahwa kita, kaum Muslim, telah teracuni oleh racun maut demokrasi? Bukankah dengan dalih demokrasi dan kebebasan ini akhirnya kita tidak bisa melakukan amar ma’ruf nahi munkar walaupun kemaksiatan telah nyata-nyata dan berada di depan hidung kita? Bukan hanya tidak bisa melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan kita pun disalahkan dan dipojokkan hanya karena kita mencela tindakan orang-orang yang dengan seenaknya melanggar dan melecehkan agama? Bahkan dalam alam demokrasi pula, bukankah kemaksiatan dibela, sementara hukum-hukum Allah dicela dengan satu alasan yang sama: demi demokrasi? Pada saat yang sama, hukum-hukum Allah SWT tidak boleh digunakan untuk menghukumi masyarakat, karena dianggap akan mengancam kebebasan yang dijamin dalam demokrasi. Walhasil, kini, demi demokrasi, para pelanggar hukum-hukum Allah SWT dibela, sementara para penegak dan pembela hukum-hukum Allah Pencipta Alam dicela. Ironis!
Wahai kaum Muslim,
Melihat kenyataan yang ada, sudah saatnya kita menyadari kembali kedudukan kita sebagai hamba Allah SWT yang wajib menegakkan hukum-hukum-Nya. Kita bukanlah hamba demokrasi yang justru memaksa kita untuk mencampakkan dan mengubur hukum-hukum Allah. Apa yang akan kita katakan di sisi Allah SWT bila kita menjadikan kebebasan sebagai Tuhan.
Kita tidak akan disibukkan dengan berbagai perkara yang tiada berguna semacam hingar-bingar produk-produk demokrasi manakala umat ini melaksanakan Islam sebagai akidah dan ideologi, baik individu, masyarakat, maupun negara. Dan hanya pemerintahan negara Khilafah Islamiyahlah yang dapat memberikan sanksi yang tegas dan berat kepada siapapun yang berbuat kemaksiatan-walau berdalih kebebasan-dan menyebarluaskan kemaksiatan itu, sehingga aqidah maupun akhlak umat akan terjaga kesuciannya. Kembalinya  system institusi  Khilafahlah yang dapat memberikan harapan kepada umat ini bila ingin terjaga kesucian dan kemuliannya.   Wallahu a’lam!

1 komentar:

  1. pandangan yg menarik. Barangkai seiring dgn catatan di http://waadat.blogspot.com/2014/03/raja-rakyat-370.html

    BalasHapus